Penerbit:
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Jumlah
halaman: 464 halaman
Terbit:
Desember 2012 (cetakan pertama)
*Dimas Suryo*
Tanpa mengetahui duduk perkara, Dimas
Suryo yang berprofesi sebagai wartawan tiba-tiba saja harus terdampar di tempat
yang begitu jauh dari tanah airnya. Mula-mula dia ditugaskan di Havana, lalu Peking, kemudian Paris, Prancis. Sebagai warga Negara
yang dicap sebagai eks tapol (tahanan politik), visa miliknya dicabut sehingga
Dimas tidak bisa kembali ke tanah airnya, Indonesia.
Rupanya bukan hanya Indonesia saja
yang mengalami pergolakan politik, awal tiba di Paris Dimas menyaksikan berbagai demonstrasi. Bedanya, jika di kota tempat menara Eiffel itu
berdiri jelas siapa yang digugat dan menggugat. Sementara di Indonesia,
tiba-tiba saja orang diciduk, diinterogasi, diasingkan, dibuang. Diantaranya adalah
anggota Empat Pilar Tanah Air yang terdiri dari Dimas Suryo dan tiga orang
kawannya -Nugroho, Risjaf, Tjai-.
Ketika sedang melihat demonstrasi di Universitas
Sorbonne itulah Dimas Suryo bertemu dengan seorang perempuan -Vivienne Deveraux- yang kelak menjadi
istrinya dan memberinya seorang anak perempuan
bernama Lintang Utara. Sebagai lulusan
sastra yang hidup di kota tempat dimana para penyair dan seniman berkumpul,
agak sulit bagi Dimas Suryo untuk menghasilkan uang. Berulang kali dia harus berganti
pekerjaan. Sampai pada akhirnya bersama tiga orang temannya mereka mendirikan
restoran masakan Indonesia yang diberi nama Empat Pilar Tanah Air.
Empat Pilar Tanah Air selain
menyajikan makanan khas Indonesia juga menjadi tempat bersosialisasi: peluncuran buku, diskusi tentang perkembangan Indonesia, pembacaan sastra, dll. Meski menjadi
salah satu restoran yang cukup populer di kalangan warga Prancis, hampir tak ada orang
Indonesia (terutama orang pemerintahan) yang mengunjunginya karena restoran itu bisa-bisanya dicap
sebagai sarang PKI. Oleh sebab itu, Empat Pilar Tanah Air akhirnya menjadi
semacam tempat untuk bernostalgia bagi Dimas Suryo, Nugroho, Risjaf dan Tjai
mengenang tanah airnya. Karena selain Risjaf, ketiganya tidak pernah bisa pulang
ke Indonesia sebab permohonan visa mereka selalu ditolak, entah apa sebabnya.
Meski begitu Dimas Suryo masih memendam keinginan untuk bisa pulang ke Indonesia. Suatu kali dia mengatakan keinginannya itu pada putri tunggalnya, Lintang Utara.
*Lintang Utara*
Lintang yang sudah memasuki tahap
akhir dalam studinya di Universitas Sorbonne mulai dipusingkan oleh tugas
akhir. Proposal mengenai warga Aljazair di Paris yang sudah dibuatnya ditolak oleh Didier Dupont, pembimbingya karena sudah banyak mahasiswa yang membuat thesis dengan tema tersebut. Dupont meminta topik yang lebih 'cerdas'. Mengetahui Lintang mempunyai orang tua dengan latar belakang berbeda: Indonesia dan Prancis, dia memintanya untuk membuat thesis mengenai “akar” kehidupannya. Lintang lahir dan besar di Paris sehingga dia tidak tahu menahu tentang Indonesia. Dia mengenal Indonesia hanya dari cerita ayahnya, paman-pamannya, juga dari berita di Koran,
buku dan televisi. Akhirnya, tantangan dari dosen pembimbingnyalah yang
akhirnya menuntunnya menginjakkan kaki di Jakarta. Untuk tugas akhinya, juga
untuk menelusuri asal-usul hidupnya.
Lintang akan ke Jakarta untuk merekam pengalaman korban ketidakadilan peristiwa September 1965. Dengan bantuan ayah dan
teman-teman ayahnya, Lintang mendapatkan daftar sejumlah nama yang bisa
digunakan sebagai narasumber dokumenternya. Lintang juga diberitahu sejumlah
nama yang kelak bisa membantu penelitiannya di Jakarta. Selain itu, Lintang pun menjadi perpanjangan tangan, kaki, mata, dan telinga bagi anggota
Empat Pilar Tanah Air yang tidak bisa mengunjungi Indonesia.
Di Jakarta, Lintang tinggal di rumah
Om Aji, adik ayahnya, yang juga mendapatkan dampak dari gerakan September 1965.
Sementara itu, untuk kepentingan penelitiannya Lintang banyak dibantu oleh
Segara Alam dan teman-temannya di LSM Satu Bangsa. Selain membantu penelitian,
rupanya Segara Alam yang biasa dipanggil Alam menjadi “halilintar” bagi
Lintang. Karena Alam-lah Lintang kemudian harus memilih antara dia dan
kekasihnya Nara di Prancis yang merupakan payung teduhnya.
Meskipun Lintang sudah akrab dengan
demontrasi (ala Prancis), di Jakarta-lah dia menyaksikan demonstrasi yang
begitu ganas. Dia menjadi salah satu saksi sejarah Mei 98. Lintang ikut pergi
ke kampus Trisakti dimana di sana terjadi penembakan mahasiswa tak bedosa. Lintang
juga menyaksikan berbagai penjarahan yang dilakukan oleh gerombolah massa yang
entah darimana datang. Pun dia bergabung dengan teman-temannya di LSM Satu
Bangsa yang berkumpul di depan gedung dewan perwakilan rakyat menuntut mundur
rezim yang telah berkuasa selama puluhan tahun. Dan presiden akhirnya bersedia turun. Reformasi berhasil!
**
Membaca Pulang karya Leila S.
Chudori, saya merasa seperti sedang membaca sebuah buku harian yang menjadi saksi ‘malpraktik’
sejarah Indonesia. Kata demi kata, kalimat demi kalimat saya lahab hingga
halaman terakhir. Saat membaca ‘Surat-Surat Berdarah’ tenggorokan saya ikut
tercekat membayangkan orang-orang tak bersalah disiksa oleh penguasa keji. Saya
pun sampai menangis ketika membaca curahan hati Bimo Nugroho yang merasa rumahnya
sebagai neraka semenjak ibunya menikah lagi dengan seorang tentara. Bagi saya
yang tak paham sejarah, novel Pulang membuat saya mengerti secuil peristiwa 30
September 1965 dan Mei 1998. Seandainya buku-buku teks sejarah di saat saya
sekolah dulu berformat seperti itu, saya mungkin akan tertarik untuk
membacanya. Dan bukan menghafalnya :p. Novel Pulang benar-benar patut untuk dibaca karena menyajikan kisah keluarga, persahabatan, romansa dan sejarah yang apik.
No comments:
Post a Comment